Salam Super buat
beliau-beliau yang telah mengunjungi blog sederhana ini, kali ini saya akan
memposting artikel tentang”CARA
MENGHUKUM SISWA ALA KI HAJAR DEWANTARA” menyimak artikel berita Jawa Pos
hari ini yang berjudul Guru Menghukum Dengan Roda Kesialan, terusik saya untuk
menulis artikel dengan judul tersebut diatas. Dalam berita koran Jawa Pos tersebut memberitakan seorang guru di
the Stevenson High School,Washington, Amerika Serikat. Dimana guru menghukum
muridnya dengan cara undian,dengan memutar roda ”Whell Of Misfortune” alias
Roda Kesialan untuk menentukan hukuman. Salah satu korbannya adalah Zoey zapfe
dengan cara dilempari permen karet oleh temannya sekelas sebagai bentuk pilihan
hukumannya,gara-gara mengunyak permen karet di dalam kelas saat pelajaran
berlangsung. Sehingga kejadian ini mendapat reaksi yang kurang baik dari para
orang tua di sekolah tersebut, walaupun sang guru beralasan bahwa tujuan dari
hukuman itu sangat baik tidak ada niat untuk mengintimidasi,maupun menyakiti siswa.
Mari kita renungkan kembali bahwa
menurut UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003 menyebutkan “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara .”
Terkait dengan tujuan pendidikan
sebagaimana terungkap di atas yakni untuk mengembangkan potensi kognitif, sikap
dan keterampilan peserta didik maka pendidik/tenaga kependidikan mempunyai
tanggung jawab untuk membimbing, mengajar dan melatih murid atas dasar
norma-norma yang berlaku baik norma agama, adat, hukum, ilmu dan
kebiasaan-kebiasaan yang baik. Agar terwujudnya tujuan itu perlu ditanamkan
sikap disiplin, tanggung jawab, berani mawas diri, beriman dan lain-lain.
Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka melanggar tata tertib
yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan sebagai upaya
mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar
pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan.
Teori hukuman adalah salah
satu alat dari sekian banyak alat yang digunakan untuk meningkatkan perilaku
yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Dalam memberi
hukuman sebaiknya kita perlu memperhatikan frekuensi, durasi dan intensitas
pemeberian hukuman. Hukuman bukan berorientasi pada karakter dan sifat
anak yang cenderung tidak tampak melainkan lebih pada perilaku tampak yang bisa
diubah, dikurangi dan atau ditingkatkan.
Sekarang pertanyaan mengapa seorang guru
menghukum muridnya? Menurut Mamiq Gaza dalam artikelnya yang berjudul Pedoman
Pendidikan Tanpa Kekerasan Guru menghukum siswa dengan bijak, beliau
menyebutkan faktor-faktor siswa dihukum nyaitu:
- Warisan generasi sebelumnya
- Tidak tertancapnya tujuan pengembangan siswa
- Keterbatasan guru pada ilmu psikologi perkembangan anak
- Minimnya kreativitas pendekatan guru
- System sekolah
Mamiq gaza juga menyebutkan juga dalam artikel yang
sama tentang prosedur cara memberikan hukuman pada anak nyaitu:
- Jenis hukuman yang diberikan perlu disepakati di awal bersama anak
- Jenis hukuman yang diberikan harus jelas sehingga anak dapat memahami dengan baik konsekuensi kesalahan yang dilakukan.
- Hukuman harus dapat terukur sejauh mana efektivitas dan keberhasilannya dalam mengubah perilaku anak.
- Hukuman harus disampaikan dengan cara yang menyenangkan, tidak disampaikan dengan cara menakutkan apalagi memunculkan trauma berkepanjangan.
- Hukuman tidak berlaku jika ada stimulus diluar control. Artinay siswa melakukan kesalahan karena sesuatau yang tidak ia ketahui sebelumnya atau belum disepakati/belum dipublikasikan di awal.
- Hukuman dilaksanakan secara konsisten.
- Hukuman segera diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan muncul. Penundaan akan berakibat pada biasnya tujuan hukuman yang diberikan.
Menurut Drs. Marijan, tokoh
pendidikan kita Ki Hajar Dewantara
berpesan mengemukakan pendapatnya bahwa dalam memberikan hukuman kepada anak
didik, seorang pendidik harus memperhatikan 3 macam aturan:
1. Hukuman
harus selaras dengan kesalahan.
Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang pecah
itu saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan yang
menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5 menit maka pulangnya
ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan datang terlambat 5
menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa
yang ada di sini ? Itu namanya hukumn penyiksaan.
2. Hukuman
harus adil. Adil
harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan
membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan
ruangan kelas kok ada siswa yang hanya duduk – duduk sambil
bernyanyi-nyanyi tak ikut bekerja. Maka hukumannya supaya ikut
bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah sama dengan
keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.
3. Hukuman
harus lekas dijatuhkan.
Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya.
Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan
harapan siswa segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya.
Pendidik tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga siswa bingung
menanggapinya.
Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat kita digunakan sebagai pedoman
dan pertimbangan oleh kita sebagai guru / kepala sekolah yang sering mengangkat
dirinya berfungsi ganda. Pertama berfungsi sebagai polisi, kemudian jaksa dan
sekaligus sebagai hakim di sekolahnya. Guru/kepala sekolah
memang mempunyai hak dan superioritas yang tinggi terhadap siswanya. Hal ini
boleh kita lakukan asalkan tidak
merugikan anak didik. Hal itulah yang menuntut pendidik bersifat bijak ,
sehingga hukuman tak boleh semena-mena terhadap anak didik.
Psikologis anak perlu sentuhan
yang halus , lentur dan manis sehingga bisa membuat sensivitas perasaannya
terasah normal. Hukuman terhadap siswa harus berlandaskan keseimbangan. Apabila
masih belum bisa ditolerir dikenakan hukuman skorsing tidak boleh mengikuti
kegiatan sekolah. Sedangkan hukuman di strata puncak jika memang sekolah tidak
mampu membina lagi, kembalikan kepada orang tuanya.
Dengan demian hendaknya kita selalu berfikir positif tentang
anak. Dengan demikian yang menjadi orientasi adalah perilaku positif anak bukan
perilaku yang negative yang selalu kita cari-cari. Sebab perilaku negative
cenderung muncul karena kita sendiri yang meransang kemunculannya, semua
berasal dari pikiran negative kita tentang anak. Kita harus memiliki konsep
utuh akan membawa kemana anak didik kita dengan menggunakan cara apa yang
paling tepat.
Selain dari itu harus meningkatkan diri dengan memperbanyak
pengetahuan tentang dampak hukuman dan kekerasan bagi anak di masa depannya dengan
berbagai sumber informasi. Yang tak kalah pentingnya menghargai kemampuan dan
kelebihan anak. Dengan kata lain tidak hanya memfokuskan perhatian pada
kelemahan dan keterbatasan anak tetapi juga memfokuskan diri pada hal-hal yang
menyenangkan anak.
Demikian postingan kali ini
tentang ”CARA MENGHUKUM SISWA ALA KI HAJAR DEWANTARA”, semoga dapat bermanfaat dan dapat diterapkan di dalam satuan pendidikan
masing-masing. saya ucapkan banyak terima kasih. saya tunggu komentar yang
membangun dan dapat menambah artikel diatas lebih baik lagi. Amin...............
By: Abd Hamid,S.Pd